Jumat, 23 November 2012

Aku dan Alunan Waktu


Aku dan Alunan Waktu
Karya : Indra Wahyudi Pratama

Awan kelabu itu masih tergantung di langit, mereka masih enggan untuk pergi. Mentari pun masih terlihat ragu untuk menemani hariku. Butiran air di rumput halaman rumahku masih segar terlihat menandakan langkah hujan yang baru saja menyapa. Semua gambar kehidupan sore itu membuat suasana hatiku menjadi sedih tak terbendung. Ku menangis dalam-dalam, dan tak ingin seorang pun tahu akan pedihnya hatiku saat ini.
Kulihat secarik kertas yang berisikan goresan kata-kata yang telah dirangkai menjadi kalimat yang sangat indah olehnya. Kubaca tiap-tiap hurufnya hingga berserakan di atas meja.
Detik
Perlahan kau jauh tinggalkan aku
Dan menit
Engkau pun berlalu tak mau peduli aku
Belum jua ku gapai inginku
Gelap pun memburu menghampiri aku
Rasanya aku semakin jauh
Jauh tertinggalkan olehmu
Akankah ku dapatkan esok lebih cerah di awalmu
Hanya engkau pula yang mampu jawab resahku
Dalam setiap langkahku, sejuta kenanganku
Di depanmu ada harapanku
Aku tak dapat menghentikanmu
Namun terkadang aku merasa kau diam membeku
Sedang dalam nyata kau terus berlalu
Sungguh, aku ingin kau kembali

            “Hai Kak Andi, boleh minta tanda tangannya?” Tanya seorang perempuan berjilbab itu.
            “Boleh, tapi ada syaratnya.” Jawabku.
            “Yah kakak, kalau begitu apa syaratnya kak?” Tanyanya kembali.
            “Mengambil tujuh helai daun yang berbeda jenis, ukuran, dan warna. Waktumu hanya 1 menit mulai dari sekarang.” Perintahku.

            Ini adalah hari dimana masa Ospek untuk mahasiswa tahun ajaran baru di kampusku dilaksanakan. Aku pun menjadi salah satu dari panitia Ospek itu. Dan perempuan yang tadi menghampiriku untuk meminta tanda tangan adalah salah satu dari peserta Ospek, belakangan aku mengetahuai namanya adalah Syahdu.
            “Sudah kak, ini daunnya. Ada tujuh helai daun dengan jenis, ukuran, dan warna yang berbeda.” Kata Syahdu dengan nafas yang tak beraturan.
            “Tapi kamu telat satu koma tiga lima belas detik, berarti harus ada kosnsekuensi” Jawabku ketus.
            “Yaampun kak, cuma satu koma tiga detik saja loh kak. Jangan dihukum dong.” Pintanya dengan wajah memelas.
            “Nggak bisa.” Jawabku masih dengan tampang ketus.

            Aku lihat ekspresi wajahnya ketika sedang menerima konsekuensi, ternyata lucu juga wajahnya. Aku hanya bisa tersenyum-senyum kecil saja melihatnya seperti itu.
            Hingga hari terakhir Ospek, Syahdu adalah peserta Ospek yang paling sering terkena hukuman dari aku. Selain karena aku adalah pendamping kelompoknya, panitia yang lain juga sengaja menempatkan semua kegiatan Syahdu pada acara yang aku tangani.
            “Baiklah adik-adik, ini adalah hari terakhir kalian melaksanakan kegiatan Ospek di Kampus Setya Bakti ini. Saya sebagai ketua kelompok kalian berharap kalian dapat memberikan kesan yang terbaik di hari terakhir ini.” Kataku kepada semua anggota kelompok yang aku dampingi.
            “Iya kak.” Jawab mereka serempak.
            “Hari ini akan ada pemilihan senior terbaik menurut peserta selama masa Ospek ini. Sekarang kalian diberi waktu satu menit untuk menuliskan nama senior yang menurut kalian paling baik di atas daun jagung yang telah kalian bawa.” Kata Endah yang juga menjadi salah satu panitia pendamping di kelompok yang aku dampingi.
            Peserta Ospek pun segera mengambil daun jagung yang telah mereka bawa di tas kresek merah besar yang diikatkan tali rafia di kedua ujungnya. Mereka segera menuliskan nama senior yang mereka anggap paling baik. Tapi entah mengapa aku sedikit merasa berharap. Berharap Syahdu menuliskan namaku di atas daun jagungnya itu. Ah, aku pun segera mengusir angan-anganku itu.
            Sepertinya mereka terlihat telah selesai menuliskan nama senior terbaik di atas daun jagung mereka.
            “Baik adik-adik, waktu menulisnya sudah habis. Sekarang kumpulkan daun jagung kalian dalam keadaan terlipat agar tulisan kalian tidak terlihat oleh orang lain lalu serahkan kepada ketua kelompok kalian.” Perintah Endah.
            “Iya kak.”
            “Menurut kamu, apa dia menuliskan namamu di daunnya?” Bisik Endah kepada ku dengan nada menggoda.
            “Aku tak pernah berharap.” Elakku.
            “Hahahaha.”Endah tertawa kecil.

            Sirine dari panitia serempak dibunyikan, tanda jam istirahat Ospek telah tiba. Peserta Ospek pun dibebaskan dari jeratan penderitaan mereka di kegiatan ini untuk beristirahat sejenak melepaskan penat. Panitia pun diminta untuk segera menuju ruang secretariat untuk membahas kegiatan selanjutnya sekaligus menghitung hasil voting dari peserta Ospek.
            Tiga puluh menit sudah berlalu. Waktu istirahat pun telah habis. Kegiatan Ospek kembali berjalan.
            “Baiklah adik-adik, sekarang waktunya kami membacakan lima besar hasil voting senior terbaik menurut kalian, setelah kami hitung hasilnya adalah di urutan ke lima Kak Lily dengan perolehan suara 5%, Kak Randhy 7%, Kak Andi 11%, Kak Nita 20%, Kak Reza 58%.” Kata Andre yang merupakan ketua pelaksana kegiatan Ospek ini. Dia memang terkenal galak, jadi wajar jika dia tidak masuk lima besar senior terbaik tahun ini.
             “Setelah ini kalian semua langsung menuju aula utama untuk mengikuti acara penutupan Ospek. Mengerti!?” Lanjutnya dengan suara lantang.
            “Mengerti kak.” Jawab peserta serempak yang membuat lapangan ini semakin bergemuruh.

            Dari kejauhan aku masih sempat melihat senyum Syahdu yang sedang bercanda bersama teman-temannya. Ah, kenapa aku selalu memikirkan dia. Kenapa aku selalu memperhatikan dia. Apakah aku suka dengan Syahdu?

            Dua tahun sejak Ospek itu, aku masih belum tau bagaimana perasaan Syahdu sebenarnya terhadapku. Aku tidak cukup berani untuk menanyakannya secara langsung kepada Syahdu. Aku hanya berani memandanginya dari kejauhan saja. Namun entah mengapa beberapa hari ini aku tidak melihat wajah cerianya itu.
            “Kak Andi.” Sapa seorang perempuan kepadaku dengan raut wajah yang tak biasa, dia adalah Vera, sahabat Syahdu.
            “Iya?” Tanyaku.
            “Ada waktu nggak kak hari ini?” Pertanyaan klasik yang selalu membuat aku bingung untuk menjawab.
            “Ada, memangnya kenapa Ver?”
            “Aku mau cerita hal penting ke Kak Andi, tentang Syahdu kak.”
            Mendengar semua cerita semua cerita tentang Syahdu dari Vera yang bahkan aku sama sekali tidak mengetahuinya membuat aku lemas seketika. Pantas saja beberapa hari ini aku jarang melihat keberadaan Syahdu. Aku langsung menuju ke Rumah Sakit Permata Hati tempat Syahdu dirawat.
            Aku melihat sekilas wajah Syahdu dari luar jendela kamar tempat Syahdu terbaring lemas. Aku tak melihat kembali wajah ceria yang biasa aku lihat di kampus. Aku pun langsung masuk ke dalam.
            Perasaanku tiba-tiba sangat berbeda dari sebelum aku masuk ke dalam kamar ini. Perasaanku sekarang lebih takut, tapi aku tidak tahu takut karena apa. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang akan hilang. Sesuatu yang sangat berharga.
            “Syahdu..” Sapaku halus dari samping tempat tidurnya.
            Matanya terbuka perlahan diiringi dengan senyum kecil yang indah dari bibirnya.
            “Kak Andi… Rasanya sudah lama ya tidak melihat Kakak.” Katanya dengan suara lirih.
            “Iya Syahdu, aku juga sudah lama tidak melihat kamu. Aku jadi khawatir sekali dengan kamu.” Jawabku dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
            Dia hanya tersenyum. Sedang air mata ku tidak dapat lagi terbendung dan jatuh.
            “Kak Andi mengapa menangis?” Tanyanya.
            “Tidak, aku hanya bahagia dapat bertemu kembali denganmu Syahdu. Aku sangat senang.” Jawabku menutupi perasaanku yang sebenarnya.
            “Jangan bohong kak.” Katanya dengan senyuman yang masih melekat di bibirnya.
            Perasaanku semakin tak dapat kubendung lagi. Air mata ku semakin deras membasahi pipi ku dan jatuh ke lantai. Aku mendekatkan wajahku ke telinganya.
            “Aku cinta kamu Syahdu, aku saying kamu. Kamu cepat sembuh ya.” Kataku dengan lirih dan air mata yang terus berjatuhan.
            “Sudah lama aku ingin mendengarkan kalimat itu kak. Tapi aku takut, aku nggak mau mengecewakan Kakak dengan…”
            “Sudah Syahdu, cukup. Tidak perlu kamu katakan itu.” Kataku memotong kalimatnya.
            “Sekarang aku sudah bisa tenang Kak, aku sudah tahu jawaban dari perasaanku ini. Aku bahagia Kak.” Katanya dengan suara semakin lirih.
            “Sudah Syahdu, cukup.” Kataku dengan air mata yang masih bercucuran.
            Senyumnya itu semakin mengembang bagaikan bunga sakura. Indah namun harus gugur. Matanya yang bening itu semakin lama semakin tertutup perlahan. Seperti kelelahan dan ingin tidur. Dia beristirahat dengan senyuman. Wajahnya tetap berseri. Tetap indah seperti awal aku melihatnya.
            “Istirahatlah Syahdu.”Kataku dengan tangis pilu.
            Siang itu langit turut bersedih melihat hatiku yang berduka. Aku kehilangan perempuan yang sangat aku sayangi. Padahal baru saja aku mengetahui jawaban dari penantianku selama dua tahun menanti. Aku bahagia dengan jawaban yang kudapatkan, namun aku sedih karena harus kehilangan dia.
            Aku sangat berduka. Separuh hidupku terasa hilang. Tak ada lagi ada harap yang menggebu seperti sedia kala. Aku benci kepada alunan waktu yang berlalu begitu cepat. Aku benci pada maut yang baru saja menghampiri perempuan yang paling ku cinta. Aku ingin tidur. Berharap ini semua hanya mimpi yang tak akan pernah terjadi.
            “Mas, kok ngelamun saja dari tadi?” Tanya perempuan itu pada ku dengan nada yang halus.
            “Ah, nggak kok dik.” Jawabku dengan member senyum padanya.
            Iya, dia adalah istri ku. Sahabat dari Syahdu yang telah pergi dengan damai dalam hatinya. Vera lah yang terus menemani ku sejak kepergian Syahdu tiga tahun yang lalu. Kini kami telah merangkai cerita dalam hidup yang baru. Terus merajut kehidupan yang indah dalam rumah tangga kami.
            Itu semua bukan mimpi. Tapi alunan waktu lah yang sangat cepat berlalu. Tak mau berhenti sejenak dan menoleh ke belakang.
            Jangan simpan kata-kata cinta pada orang yang tersayang sehingga dia meninggalkan kehidupan ini, lantaran akhirnya kamu terpaksa catatkan kata-kata cinta itu pada pusaranya. Sebaliknya ucapkan kata-kata cinta yang tersimpan di benakmu itu sekarang selagi ada hayatnya. Karena waktu tak akan peduli.


*Selesai*
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah memberi komentar