Aku
dan Alunan Waktu
Karya : Indra Wahyudi Pratama
Karya : Indra Wahyudi Pratama
Awan
kelabu itu masih tergantung di langit, mereka masih enggan untuk pergi. Mentari
pun masih terlihat ragu untuk menemani hariku. Butiran air di rumput halaman
rumahku masih segar terlihat menandakan langkah hujan yang baru saja menyapa.
Semua gambar kehidupan sore itu membuat suasana hatiku menjadi sedih tak
terbendung. Ku menangis dalam-dalam, dan tak ingin seorang pun tahu akan
pedihnya hatiku saat ini.
Kulihat
secarik kertas yang berisikan goresan kata-kata yang telah dirangkai menjadi
kalimat yang sangat indah olehnya. Kubaca tiap-tiap hurufnya hingga berserakan
di atas meja.
“Detik
Perlahan kau jauh tinggalkan aku
Dan menit
Engkau pun berlalu tak mau peduli
aku
Belum jua ku gapai inginku
Gelap pun memburu menghampiri aku
Rasanya aku semakin jauh
Jauh tertinggalkan olehmu
Akankah ku dapatkan esok lebih cerah
di awalmu
Hanya engkau pula yang mampu jawab
resahku
Dalam setiap langkahku, sejuta
kenanganku
Di depanmu ada harapanku
Aku tak dapat menghentikanmu
Namun terkadang aku merasa kau diam
membeku
Sedang dalam nyata kau terus berlalu
Sungguh, aku ingin kau kembali”
“Hai Kak
Andi, boleh minta tanda tangannya?” Tanya seorang perempuan berjilbab itu.
“Boleh,
tapi ada syaratnya.” Jawabku.
“Yah
kakak, kalau begitu apa syaratnya kak?” Tanyanya kembali.
“Mengambil
tujuh helai daun yang berbeda jenis, ukuran, dan warna. Waktumu hanya 1 menit
mulai dari sekarang.” Perintahku.
Ini
adalah hari dimana masa Ospek untuk mahasiswa tahun ajaran baru di kampusku
dilaksanakan. Aku pun menjadi salah satu dari panitia Ospek itu. Dan perempuan
yang tadi menghampiriku untuk meminta tanda tangan adalah salah satu dari
peserta Ospek, belakangan aku mengetahuai namanya adalah Syahdu.
“Sudah
kak, ini daunnya. Ada tujuh helai daun dengan jenis, ukuran, dan warna yang
berbeda.” Kata Syahdu dengan nafas yang tak beraturan.
“Tapi
kamu telat satu koma tiga lima belas detik, berarti harus ada kosnsekuensi”
Jawabku ketus.
“Yaampun
kak, cuma satu koma tiga detik saja loh
kak. Jangan dihukum dong.” Pintanya dengan wajah memelas.
“Nggak bisa.” Jawabku masih dengan
tampang ketus.
Aku
lihat ekspresi wajahnya ketika sedang menerima konsekuensi, ternyata lucu juga
wajahnya. Aku hanya bisa tersenyum-senyum kecil saja melihatnya seperti itu.
Hingga
hari terakhir Ospek, Syahdu adalah peserta Ospek yang paling sering terkena
hukuman dari aku. Selain karena aku adalah pendamping kelompoknya, panitia yang
lain juga sengaja menempatkan semua kegiatan Syahdu pada acara yang aku
tangani.
“Baiklah
adik-adik, ini adalah hari terakhir kalian melaksanakan kegiatan Ospek di
Kampus Setya Bakti ini. Saya sebagai ketua kelompok kalian berharap kalian
dapat memberikan kesan yang terbaik di hari terakhir ini.” Kataku kepada semua
anggota kelompok yang aku dampingi.
“Iya
kak.” Jawab mereka serempak.
“Hari ini akan ada pemilihan senior terbaik menurut peserta selama masa Ospek ini. Sekarang kalian diberi waktu satu menit untuk menuliskan nama senior yang menurut kalian paling baik di atas daun jagung yang telah kalian bawa.” Kata Endah yang juga menjadi salah satu panitia pendamping di kelompok yang aku dampingi.
“Hari ini akan ada pemilihan senior terbaik menurut peserta selama masa Ospek ini. Sekarang kalian diberi waktu satu menit untuk menuliskan nama senior yang menurut kalian paling baik di atas daun jagung yang telah kalian bawa.” Kata Endah yang juga menjadi salah satu panitia pendamping di kelompok yang aku dampingi.
Peserta
Ospek pun segera mengambil daun jagung yang telah mereka bawa di tas kresek merah
besar yang diikatkan tali rafia di kedua ujungnya. Mereka segera menuliskan
nama senior yang mereka anggap paling baik. Tapi entah mengapa aku sedikit
merasa berharap. Berharap Syahdu menuliskan namaku di atas daun jagungnya itu.
Ah, aku pun segera mengusir angan-anganku itu.
Sepertinya
mereka terlihat telah selesai menuliskan nama senior terbaik di atas daun
jagung mereka.
“Baik
adik-adik, waktu menulisnya sudah habis. Sekarang kumpulkan daun jagung kalian
dalam keadaan terlipat agar tulisan kalian tidak terlihat oleh orang lain lalu
serahkan kepada ketua kelompok kalian.” Perintah Endah.
“Iya
kak.”
“Menurut
kamu, apa dia menuliskan namamu di daunnya?” Bisik Endah kepada ku dengan nada
menggoda.
“Aku tak pernah berharap.” Elakku.
“Hahahaha.”Endah tertawa kecil.
“Aku tak pernah berharap.” Elakku.
“Hahahaha.”Endah tertawa kecil.
Sirine
dari panitia serempak dibunyikan, tanda jam istirahat Ospek telah tiba. Peserta
Ospek pun dibebaskan dari jeratan penderitaan mereka di kegiatan ini untuk
beristirahat sejenak melepaskan penat. Panitia pun diminta untuk segera menuju
ruang secretariat untuk membahas kegiatan selanjutnya sekaligus menghitung
hasil voting dari peserta Ospek.
Tiga
puluh menit sudah berlalu. Waktu istirahat pun telah habis. Kegiatan Ospek
kembali berjalan.
“Baiklah
adik-adik, sekarang waktunya kami membacakan lima besar hasil voting senior
terbaik menurut kalian, setelah kami hitung hasilnya adalah di urutan ke lima
Kak Lily dengan perolehan suara 5%, Kak Randhy 7%, Kak Andi 11%, Kak Nita 20%,
Kak Reza 58%.” Kata Andre yang merupakan ketua pelaksana kegiatan Ospek ini.
Dia memang terkenal galak, jadi wajar jika dia tidak masuk lima besar senior
terbaik tahun ini.
“Setelah ini kalian semua langsung menuju aula
utama untuk mengikuti acara penutupan Ospek. Mengerti!?” Lanjutnya dengan suara
lantang.
“Mengerti kak.” Jawab peserta serempak yang membuat lapangan ini semakin bergemuruh.
“Mengerti kak.” Jawab peserta serempak yang membuat lapangan ini semakin bergemuruh.
Dari
kejauhan aku masih sempat melihat senyum Syahdu yang sedang bercanda bersama
teman-temannya. Ah, kenapa aku selalu memikirkan dia. Kenapa aku selalu
memperhatikan dia. Apakah aku suka dengan Syahdu?
Dua
tahun sejak Ospek itu, aku masih belum tau bagaimana perasaan Syahdu sebenarnya
terhadapku. Aku tidak cukup berani untuk menanyakannya secara langsung kepada
Syahdu. Aku hanya berani memandanginya dari kejauhan saja. Namun entah mengapa
beberapa hari ini aku tidak melihat wajah cerianya itu.
“Kak
Andi.” Sapa seorang perempuan kepadaku dengan raut wajah yang tak biasa, dia
adalah Vera, sahabat Syahdu.
“Iya?”
Tanyaku.
“Ada
waktu nggak kak hari ini?” Pertanyaan
klasik yang selalu membuat aku bingung untuk menjawab.
“Ada,
memangnya kenapa Ver?”
“Aku mau cerita hal penting ke Kak Andi, tentang Syahdu kak.”
“Aku mau cerita hal penting ke Kak Andi, tentang Syahdu kak.”
Mendengar
semua cerita semua cerita tentang Syahdu dari Vera yang bahkan aku sama sekali
tidak mengetahuinya membuat aku lemas seketika. Pantas saja beberapa hari ini
aku jarang melihat keberadaan Syahdu. Aku langsung menuju ke Rumah Sakit
Permata Hati tempat Syahdu dirawat.
Aku
melihat sekilas wajah Syahdu dari luar jendela kamar tempat Syahdu terbaring
lemas. Aku tak melihat kembali wajah ceria yang biasa aku lihat di kampus. Aku
pun langsung masuk ke dalam.
Perasaanku
tiba-tiba sangat berbeda dari sebelum aku masuk ke dalam kamar ini. Perasaanku
sekarang lebih takut, tapi aku tidak tahu takut karena apa. Tapi aku merasakan
ada sesuatu yang akan hilang. Sesuatu yang sangat berharga.
“Syahdu..”
Sapaku halus dari samping tempat tidurnya.
Matanya terbuka perlahan diiringi dengan senyum kecil yang indah dari bibirnya.
“Kak Andi… Rasanya sudah lama ya tidak melihat Kakak.” Katanya dengan suara lirih.
“Iya Syahdu, aku juga sudah lama tidak melihat kamu. Aku jadi khawatir sekali dengan kamu.” Jawabku dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
Dia hanya tersenyum. Sedang air mata ku tidak dapat lagi terbendung dan jatuh.
“Kak Andi mengapa menangis?” Tanyanya.
“Tidak, aku hanya bahagia dapat bertemu kembali denganmu Syahdu. Aku sangat senang.” Jawabku menutupi perasaanku yang sebenarnya.
Matanya terbuka perlahan diiringi dengan senyum kecil yang indah dari bibirnya.
“Kak Andi… Rasanya sudah lama ya tidak melihat Kakak.” Katanya dengan suara lirih.
“Iya Syahdu, aku juga sudah lama tidak melihat kamu. Aku jadi khawatir sekali dengan kamu.” Jawabku dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
Dia hanya tersenyum. Sedang air mata ku tidak dapat lagi terbendung dan jatuh.
“Kak Andi mengapa menangis?” Tanyanya.
“Tidak, aku hanya bahagia dapat bertemu kembali denganmu Syahdu. Aku sangat senang.” Jawabku menutupi perasaanku yang sebenarnya.
“Jangan
bohong kak.” Katanya dengan senyuman yang masih melekat di bibirnya.
Perasaanku
semakin tak dapat kubendung lagi. Air mata ku semakin deras membasahi pipi ku
dan jatuh ke lantai. Aku mendekatkan wajahku ke telinganya.
“Aku
cinta kamu Syahdu, aku saying kamu. Kamu cepat sembuh ya.” Kataku dengan lirih
dan air mata yang terus berjatuhan.
“Sudah
lama aku ingin mendengarkan kalimat itu kak. Tapi aku takut, aku nggak mau mengecewakan Kakak dengan…”
“Sudah
Syahdu, cukup. Tidak perlu kamu katakan itu.” Kataku memotong kalimatnya.
“Sekarang
aku sudah bisa tenang Kak, aku sudah tahu jawaban dari perasaanku ini. Aku
bahagia Kak.” Katanya dengan suara semakin lirih.
“Sudah
Syahdu, cukup.” Kataku dengan air mata yang masih bercucuran.
Senyumnya
itu semakin mengembang bagaikan bunga sakura. Indah namun harus gugur. Matanya
yang bening itu semakin lama semakin tertutup perlahan. Seperti kelelahan dan
ingin tidur. Dia beristirahat dengan senyuman. Wajahnya tetap berseri. Tetap
indah seperti awal aku melihatnya.
“Istirahatlah
Syahdu.”Kataku dengan tangis pilu.
Siang
itu langit turut bersedih melihat hatiku yang berduka. Aku kehilangan perempuan
yang sangat aku sayangi. Padahal baru saja aku mengetahui jawaban dari
penantianku selama dua tahun menanti. Aku bahagia dengan jawaban yang
kudapatkan, namun aku sedih karena harus kehilangan dia.
Aku
sangat berduka. Separuh hidupku terasa hilang. Tak ada lagi ada harap yang
menggebu seperti sedia kala. Aku benci kepada alunan waktu yang berlalu begitu
cepat. Aku benci pada maut yang baru saja menghampiri perempuan yang paling ku
cinta. Aku ingin tidur. Berharap ini semua hanya mimpi yang tak akan pernah
terjadi.
“Mas,
kok ngelamun saja dari tadi?” Tanya
perempuan itu pada ku dengan nada yang halus.
“Ah, nggak kok dik.” Jawabku dengan member
senyum padanya.
Iya, dia
adalah istri ku. Sahabat dari Syahdu yang telah pergi dengan damai dalam
hatinya. Vera lah yang terus menemani ku sejak kepergian Syahdu tiga tahun yang
lalu. Kini kami telah merangkai cerita dalam hidup yang baru. Terus merajut
kehidupan yang indah dalam rumah tangga kami.
Itu
semua bukan mimpi. Tapi alunan waktu lah yang sangat cepat berlalu. Tak mau
berhenti sejenak dan menoleh ke belakang.
Jangan
simpan kata-kata cinta pada orang yang tersayang sehingga dia meninggalkan
kehidupan ini, lantaran akhirnya kamu terpaksa catatkan kata-kata cinta itu
pada pusaranya. Sebaliknya ucapkan kata-kata cinta yang tersimpan di benakmu
itu sekarang selagi ada hayatnya. Karena waktu tak akan peduli.
*Selesai*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah memberi komentar